Widget HTML Atas

Kumpulan Puisi-Puisi karya Chairil Anwar

Kumpulan Puisi-puisi karya Chairil Anwar. Ada 27 contoh puisi karya Chairil Anwar.

Sekilas tentang Chairil Anwar

Chairil Anwar (lahir di Medan, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia. Dia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, dia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.

Kumpulan Puisi-Puisi karya Chairil Anwar


Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, di mana dia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.

1. Aku

Aku

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau


Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang


Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang


Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun  lagi

Maret 1943


2. Diponegoro

Diponegoro


Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api


Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.


MAJU


Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai.

Maju.

Serbu.

Serang.

terjang

Februari 1943

3. Krawang-Bekasi

Krawang-Bekasi


Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.


Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan berdegap hati?


Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


4. Sia-Sia

Sia-Sia

Penghabisan kali itu kau datang

membawaku karangan kembang

Mawar merah dan melati putih:

darah dan suci

Kau tebarkan depanku

serta pandang yang memastikan: Untukmu.


Sudah itu kita sama termangu

Saling bertanya: Apakah ini?

Cinta? Keduanya tak mengerti.


Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak-koyak sepi.


5. Derai-Derai Cemara

Derai-Derai Cemara


Cemara menderai sampai jauh

terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan di tingkap merapuh

dipukul angin yang terpendam


Aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah berapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini


Hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah


6. Senja di Pelabuhan Kecil

Senja di Pelabuhan Kecil


Kepada Sri Ajati


Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut


Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.


Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempar, sedu penghabisan bisa terdekap


7. Doa

Doa


Kepada pemeluk teguh


Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namamu


Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh


cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi


Tuhanku


aku hilang bentuk

remuk


Tuhanku


aku mengembara di negeri asing


Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling


8. Tak Sepadan

Tak Sepadan


Aku kira:

Beginilah nanti jadinya

Kau kimpoi, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.


Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pinti terbuka.


Jadi baik juga kita pahami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa

Aku terpanggang tinggak rangka.


Februari 1943


9. Di Mesjid

Di Mesjid


Kuseru saja Dia

Sehingga datang juga


Kami pun bermuka-muka.


Seterusnya Ia Bernyala-nyala dalam dada.

Segala daya memadamkannya


Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda


Ini ruang

Gelanggang kami berperang.


Binasa-membinasa

Satu menista lain gila


10. Persetujuan dengan Bung Karno

bung karno chairil anwar

islampos.com

Persetujuan dengan Bung Karno


Ayo! Bung Karno kasih tangan, mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

Dipanggang di atas apimu, digarami lautmu

Dari mulai 17 Agustus 1945


Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api, Aku sekarang laut


Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu, di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu, di uratku kapal-kapal kita betolak dan berlabuh


11. Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku Jauh di Pulau


Cintaku jauh di pulau,

gadis manis, sekarang iseng sendiri


Perahu melancar, bulan memancar,

di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.

angin membantu, laut tenang, tapi terasa

aku tidak akan sampai padanya.


Di air yang tenang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”


Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!

Perahu yang bersama kan merapuh!

Mengapa ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,

kalau kumati, dia mati iseng sendiri.


12. Cinta dan Benci

Cinta dan Benci

Aku tidak pernah mengerti

Banyak orang menghembuskan cinta dan benci

Dalam satu napas


Tapi sekarang aku tahu

Bahwa cinta dan benci adalah saudara

Yang membodohi kita, memisahkan kita


Sekarang aku tahu bahwa

Cinta harus siap merasakan sakit

Cinta harus siap untuk kehilangan

Cinta harus siap untuk terluka

Cinta harus siap untuk membenci


Karena itu hanya cinta yang sungguh-sungguh mengizinkan kita

Untuk mengatur semua emosi dalam perasaan


Setiap emosi jatuh… Keluarlah cinta


Sekarang aku mengetahui implikasi dari cinta

Cinta tidak berasal dari hati

Tapi cinta berasal dari jiwa

Dari zat dasar manusia


Ya, aku senang telah mencintai

Karena dengan melakukan itu aku merasa hidup

Dan tidak ada orang yang dapat merebutnya dariku


13. Sajak Putih

Sajak Putih


Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi


Malam dalam mendoa tiba

Meriak muka air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku


Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita mati datang tidak membelah


14. Selamat Tinggal

Selamat Tinggal


Ini muka penuh luka

Siapa punya?


Kudengar seru menderu

Dalam hatiku

Apa hanya angin lalu?


Lagi lain pula

Menggelepar tengah malam buta


Ah..!!!


Segala menebal, segala mengental

Segala tak kukenal..!!!

Selamat tinggal…!!


15. Sebuah Kamar

Sebuah Kamar


Sebuah jendela menyerahkan kamar ini

pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam

mau lebih banyak tahu.

“Sudah lima anak bernyawa di sini,

Aku salah satunya!”


Ibuku tertidur dalam tersendu,

Keramaian penjara sepi selalu,

Bapakku sendiri terbaring jemu

Matanya menatap orang tersalib di batu!


Sekeliling dunia bunuh diri!

Aku minta adik lagi pada

Ibu dan bapakku, karena mereka berada

di luar hitungan: Kamar begini,

3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!


16. Rumahku

rumah gadang chairil anwar

antarafoto.com

Rumahku


Rumahku dari unggun timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman


Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senja kala

Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun timbun sajak


Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi

Tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu


17. Kepada Peminta-minta

Kepada Peminta-minta


Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku


Jangan lagi kau bercerita

Sudah tercacar semua di muka

Nanah meleleh dari muka

Sambil berjalan kau usap juga


Bersuara tiap kau melangkah

Mengerang tiap kau memandang

Menetes dari suasana kau datang

Sembarang kau merebah


Mengganggu dalam mimpiku

Menghempas aku di bumi keras

Di bibirku terasa pedas

Mengaum di telingaku


Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku


18. Prajurit Jaga Malam

Prajurit Jaga Malam


Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,

bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

kepastian

ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!


19. Yang Terampas dan Yang Terputus

Yang Terampas dan Yang Terputus

 

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu


di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin


aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang


tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku


20. Cerita Buat Dien Tamaela

Cerita Buat Dien Tamaela


Beta Pattiradjawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma satu.


Beta Pattiradjawane

Kikisan laut

Berdarah laut.


Beta Pattiradjawane

Ketika lahir dibawakan

Datu dayung sampan.


Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala.

Beta api di pantai. Siapa mendekat

Tiga kali menyebut beta punya nama.


Dalam sunyi malam ganggang menari

Menurut beta punya tifa,

Pohon pala, badan perawan jadi

Hidup sampai pagi tiba.


Mari menari!

mari beria!

mari berlupa!


Awas jangan bikin beta marah

Beta bikin pala mati, gadis kaku

beta kirim datu-datu!


Beta ada di malam, ada di siang

Irama ganggang dan api membakar pulau….


Beta Pattiradjawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma satu.


1946


21. Hampa

Hampa


Kepada sri


Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai ke puncak. Sepi memagut,

Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti. Menanti. Menanti.


Sepi.


Tambah ini menanti jadi mencekik…

Memberat-mencekung punda…

Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Dan menanti.


22. Kawanku dan Aku

Kawanku dan Aku


Kami sama pejalan larut

Menembus kabut

Hujan mengucur badan

Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan


Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat


Siapa berkata-kata…?

Kawanku hanya rangka saja

Karena dera mengelucak tenaga


Dia bertanya jam berapa?


Sudah larut sekali

Hilang tenggelam segala makna

Dan gerak tak punya arti.


23. Kepada Kawan

Kepada Kawan


Sebelum ajal mendekat dan menghianat

Mencengkam dari belakang ketika kita tidak melihat

Selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa


Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada

Tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam

Layar merah berkibar hilang dalam kelam

Kawan, mari kita putuskan kini di sini

Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri


Jadi

Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan

Tembus jelajah dunia ini dan balikkan

Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu

Pilih kuda yang paling liar, pacu laju

Jangan tembatkan pada siang dan malam


Dan

Hancurkan lagi apa yang kau perbuat

Hilang sonder pusaka, sonder kerabat

Tidak minta ampun atas segala dosa

Tidak memberi pamit siapa saja


Jadi

Mari kita putuskan sekali lagi

Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi

Sekali lagi kawan, sebaris lagi

Tikamkan pedangmu hingga ke hulu

Pada siapa yang mengairi kemurnian madu…!!


24. Lagu Siul

Lagu Siul


Laron pada mati

Terbakar di sumbu lampu

Aku juga menemu

Ajal di cerlang caya matamu

Heran! ini badan yang selama berjaga

Habis hangus di api matamu

‘Ku kayak tidak tahu saja.


II


Aku kira

Beginilah nanti jadinya:

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros


Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta,

Tak satu juga pintu terbuka.


Jadi baik kita padami


Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa,

Aku terpanggang tinggal rangka

25 November 1945


25. Tuti Artic

Tuti Artic


Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,

Adikku yang lagi keenakan menjilati es artic;

Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca

cola.

Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.


Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal

terasa

– ketika kita bersepeda kuantar kau pulang –

Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,

Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.


Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali

bertukar;

Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:

Sorga hanya permainan sebentar.


Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu

Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar,

Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.


1947


26. Puisi Kehidupan

Puisi Kehidupan


Hari hari lewat, pelan tapi pasti


Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru

Karena aku akan membuka lembaran baru

Untuk sisa jatah umurku yang baru

Daun gugur satu-satu

Semua terjadi karena ijin Allah

Umurku bertambah satu-satu

Semua terjadi karena ijin Allah

Tapi… coba aku tengok kebelakang

Ternyata aku masih banyak berhutang

Ya, berhutang pada diriku

Karena ibadahku masih pas-pasan

Kuraba dahiku

Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk

Kutimbang keinginanku….

Hmm… masih lebih besar duniawiku


Ya Allah


Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?

Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?

Masihkah aku diberi kesempatan?


Ya Allah….


Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku

Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku

Astagfirullah…

Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan

Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…

Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…

Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…

Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…

Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…

Ya Allah,

Ijikanlah


27. Nisan

Nisan


Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridhaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu di atas debu

Dan duka maha tuan tak bertahta.


Posting Komentar untuk "Kumpulan Puisi-Puisi karya Chairil Anwar"